huhuhu...
yaH,,tKdaNg b'gaNk iTu ad ga eNk'y jg yK..???
tp mU gMn Lg..udH kLopP'y ma mRk,,,
t'sEraH ap kT oRg,,,
mU g'sUka,,ll'feel,,mU juTek,,n' bLa..bLa..bLa..
kg peduLi dagH,,
yg pNtg qT ttp b'sMa,,koMpaK,,
ad yg LewaT y,,cuEkiN aZ..
(HEHE,,KIDDING...) What? Tulisan macam apa itu? Mesti membaca berkali-kali hingga kita bisa menangkap maksud penulisnya.atau inikah yang dinamakan anak gaul? Memang kata-kata itu terasa ganjil bagi kita yang terasing dengan bahasa gaulnya anak sekarang. Tetapi perlu disadari bahwa itu semua adalah hasil sintesis dari benturan-benturan peradaban yang sedang berlangsung, sebuah kebingungan plus pergolakan untuk menunjukkan eksistensi diri "ABG". Ekspresi, benturan budaya sekaligus rasa gagap terakumulasi dalam kehidupan anak muda yang mengejawantah lewat hasil kemajuan teknologi "sesepuhnya".
Media, apa saja bentuknya yang penting bisa sebagai media pelampiasan, ingin diapresiasi kembali dan memberikan warna baru dalam jagad teknologi ini. Mereka tidak ingin kalau media hanya diduduki oleh para "sesepuhnya", mereka menginginkan persamaan hak dalam menikmati kemajuan dari rahim zamannya. Media komunikasi bukanlah sekedar tempat memperbincangkan politik, bisnis, berita maju mudurnya bangsa, naiknya harga kebutuhan pokok yang terus menghimpit kondisi perekonomian orang tua mereka.Kata mereka: harus ada warna baru, sensasi yang beda dalam media informasi. Dari sinilah terciptakan kata-kata,adegan-adegan yang memang bukan untuk disandiwarakan, dipura-purakan, melainkan sebuah kenyataan. Mereka para pencipta peradaban baru meskipun peradaban yang entah berantah dan keluar dari epistemologi "adab". Kemunculan perilaku di kalangan anak muda merupakan kerinduan mengenai sesuatu yang beda, sebuah motivasi untuk hadir, sebuah kerinduan untuk menunjukkan: ini dadaku!.Tampil dan eksis. Membuat budaya tandingan dengan penduhulunya,mereka tak mau dikatakan membebebek para "sesepuhnya yang terlihat "ndeso". Mereka ingin meniru perilaku superior, layaknya supermen dengan gesit dan tangkasnya dalam bertindak sehingga menimbulkan kejutan-kejutan. Ini adalah "shock terapy" bagi orang tua. Jika Anda dasar apa yang Anda lakukan pada informasi yang tidak akurat, Anda mungkin tidak menyenangkan terkejut oleh konsekuensi. Pastikan Anda mendapatkan seluruh lowongan kerja informasi kerja terbaru 2010 cerita dari sumber-sumber informasi.
Demam eksis bukanlah sesuatau yang abnoramal, begitu Ainun Najib mengatakan,. Ia sah dan wajar dan amat manusiawi. Itu vitalitas pribadi. Energi hidup. Potensi. Anak kita begitu nakal, tapi ini suatu potensi: setiap perwujudan potensi butuh modus, modus itu bisa berbentuk media, atau saluran-saluran lain Persoalannya ialah, bentuk-ragam lingkungan social budaya kita seberapa banyak dan berkualitas menyediakan kemungkinan untuk itu. Atau, dalam prinsip-prinsip kreativitas, apakah pendidikan bagi manusia-manusia serta kebiasaan-kebiasan kehidupan mendorong mereka untuk mencari manefestasi dari potensinya masing-masing. Kemudian apakah masyarakat mampu menampungnya dan memberi ruang gerak baginya. (Emha Ainun Najib. Indonesia bagian dari desa saya, hal.90)
Anak-anak kita bukan lagi sebuah layang-layang, yang berlenggak-lenggok diangkasa tapi masih kita kendalikan. Anak-anak kita adalah sebuah pesawat dan dikemudikan oleh dirinya sendiri. Mereka telah meninggalkan landasan dan melesat entah kemana. Apakah ia akan mendarat pada peradaban yang luhur atau mereka hanya akan terperosok ke lembah kehancuran. Saat ini mereka bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya. Melesat dengan cepat, tepat sasarannya dari anak panah tergantung dari kita bagaimana kita mengarahkan anak panah tersebut ketika masih diantara busur dan gendewa. Artinya baik buruknya anak tergantung didikan keluarga, kebiasan keluarga menanamkan nilai-nilai kebaikan. Anak ibaratnya sebuah senyawa kompleks yang ditentukan dari ligan-ligan yang menyumbangkan "electron peradaban" pada pemikiran yang akhirnya membentuk sifat yang komplek pula. Seringkali kita menyalahkan lembaga pendidikan yang tak becus mendidik atau menyalahkan lingkungan sekitar kita yang notabenenya memang sudah salah. Kita memang tak pernah berfikir dari perilaku kita senddiri. Anak adalah bentuk copy diri kita. Copy-an sifat yang dibawa oleh DNA yang tersimpan pada Sperma dan indung telur. Sedangkan keduanya tersimpan dalam tempat yang di set memang untuk merekam perilaku kita. Ibaratnya dia adalah kotak hitam pada sebuah pesawat, yang merekam segala komunikasi yang kita lakukan. Jadi perilaku kita sebelum berkeluarga juga menyumbang factor penentu sifat pada diri anak. Ini belum lagi ditambah saat kita melakukan Saresmi, apakah kegiatan yang begitu sakral ini diselimuti nafsu atau memang bertujuan ingin menitiskan benih yang unggul sehingga memunculkan "bocah" yang berakhlak mulia.
Begitu sacral kegiatan "dua insan" itu maka tercipta berbagi pantangan yang tidak boleh dilakukan. Dalam ayat Al qur'an disebutkan bahwa kita diperintahkan menggauli istri kita dengan cara yang ma'ruf (baik). Karena kegiatan tersebut merupakan proses yang menentukan baik-buruknya anak yang efeknya bukan hanya kepada orang tuanya melainkan juga masyarakat luas. Sayangnya kegiatan tersebut dewasa ini semakin jauh dari semangat ibadah dan lebih terkesan kegiatan "senang-senang" ,tak ayal jika sekarang marak terbitnya kaset-kaset yang menggurui kegiatan tersebut, atau konsultasi yang mengarah kepada kepuasan bukan mengarah bagaimana mengajarkan cara-cara yang baik.
yaH,,tKdaNg b'gaNk iTu ad ga eNk'y jg yK..???
tp mU gMn Lg..udH kLopP'y ma mRk,,,
t'sEraH ap kT oRg,,,
mU g'sUka,,ll'feel,,mU juTek,,n' bLa..bLa..bLa..
kg peduLi dagH,,
yg pNtg qT ttp b'sMa,,koMpaK,,
ad yg LewaT y,,cuEkiN aZ..
(HEHE,,KIDDING...) What? Tulisan macam apa itu? Mesti membaca berkali-kali hingga kita bisa menangkap maksud penulisnya.atau inikah yang dinamakan anak gaul? Memang kata-kata itu terasa ganjil bagi kita yang terasing dengan bahasa gaulnya anak sekarang. Tetapi perlu disadari bahwa itu semua adalah hasil sintesis dari benturan-benturan peradaban yang sedang berlangsung, sebuah kebingungan plus pergolakan untuk menunjukkan eksistensi diri "ABG". Ekspresi, benturan budaya sekaligus rasa gagap terakumulasi dalam kehidupan anak muda yang mengejawantah lewat hasil kemajuan teknologi "sesepuhnya".
Media, apa saja bentuknya yang penting bisa sebagai media pelampiasan, ingin diapresiasi kembali dan memberikan warna baru dalam jagad teknologi ini. Mereka tidak ingin kalau media hanya diduduki oleh para "sesepuhnya", mereka menginginkan persamaan hak dalam menikmati kemajuan dari rahim zamannya. Media komunikasi bukanlah sekedar tempat memperbincangkan politik, bisnis, berita maju mudurnya bangsa, naiknya harga kebutuhan pokok yang terus menghimpit kondisi perekonomian orang tua mereka.Kata mereka: harus ada warna baru, sensasi yang beda dalam media informasi. Dari sinilah terciptakan kata-kata,adegan-adegan yang memang bukan untuk disandiwarakan, dipura-purakan, melainkan sebuah kenyataan. Mereka para pencipta peradaban baru meskipun peradaban yang entah berantah dan keluar dari epistemologi "adab". Kemunculan perilaku di kalangan anak muda merupakan kerinduan mengenai sesuatu yang beda, sebuah motivasi untuk hadir, sebuah kerinduan untuk menunjukkan: ini dadaku!.Tampil dan eksis. Membuat budaya tandingan dengan penduhulunya,mereka tak mau dikatakan membebebek para "sesepuhnya yang terlihat "ndeso". Mereka ingin meniru perilaku superior, layaknya supermen dengan gesit dan tangkasnya dalam bertindak sehingga menimbulkan kejutan-kejutan. Ini adalah "shock terapy" bagi orang tua. Jika Anda dasar apa yang Anda lakukan pada informasi yang tidak akurat, Anda mungkin tidak menyenangkan terkejut oleh konsekuensi. Pastikan Anda mendapatkan seluruh lowongan kerja informasi kerja terbaru 2010 cerita dari sumber-sumber informasi.
Demam eksis bukanlah sesuatau yang abnoramal, begitu Ainun Najib mengatakan,. Ia sah dan wajar dan amat manusiawi. Itu vitalitas pribadi. Energi hidup. Potensi. Anak kita begitu nakal, tapi ini suatu potensi: setiap perwujudan potensi butuh modus, modus itu bisa berbentuk media, atau saluran-saluran lain Persoalannya ialah, bentuk-ragam lingkungan social budaya kita seberapa banyak dan berkualitas menyediakan kemungkinan untuk itu. Atau, dalam prinsip-prinsip kreativitas, apakah pendidikan bagi manusia-manusia serta kebiasaan-kebiasan kehidupan mendorong mereka untuk mencari manefestasi dari potensinya masing-masing. Kemudian apakah masyarakat mampu menampungnya dan memberi ruang gerak baginya. (Emha Ainun Najib. Indonesia bagian dari desa saya, hal.90)
Anak-anak kita bukan lagi sebuah layang-layang, yang berlenggak-lenggok diangkasa tapi masih kita kendalikan. Anak-anak kita adalah sebuah pesawat dan dikemudikan oleh dirinya sendiri. Mereka telah meninggalkan landasan dan melesat entah kemana. Apakah ia akan mendarat pada peradaban yang luhur atau mereka hanya akan terperosok ke lembah kehancuran. Saat ini mereka bagaikan anak panah yang lepas dari busurnya. Melesat dengan cepat, tepat sasarannya dari anak panah tergantung dari kita bagaimana kita mengarahkan anak panah tersebut ketika masih diantara busur dan gendewa. Artinya baik buruknya anak tergantung didikan keluarga, kebiasan keluarga menanamkan nilai-nilai kebaikan. Anak ibaratnya sebuah senyawa kompleks yang ditentukan dari ligan-ligan yang menyumbangkan "electron peradaban" pada pemikiran yang akhirnya membentuk sifat yang komplek pula. Seringkali kita menyalahkan lembaga pendidikan yang tak becus mendidik atau menyalahkan lingkungan sekitar kita yang notabenenya memang sudah salah. Kita memang tak pernah berfikir dari perilaku kita senddiri. Anak adalah bentuk copy diri kita. Copy-an sifat yang dibawa oleh DNA yang tersimpan pada Sperma dan indung telur. Sedangkan keduanya tersimpan dalam tempat yang di set memang untuk merekam perilaku kita. Ibaratnya dia adalah kotak hitam pada sebuah pesawat, yang merekam segala komunikasi yang kita lakukan. Jadi perilaku kita sebelum berkeluarga juga menyumbang factor penentu sifat pada diri anak. Ini belum lagi ditambah saat kita melakukan Saresmi, apakah kegiatan yang begitu sakral ini diselimuti nafsu atau memang bertujuan ingin menitiskan benih yang unggul sehingga memunculkan "bocah" yang berakhlak mulia.
Begitu sacral kegiatan "dua insan" itu maka tercipta berbagi pantangan yang tidak boleh dilakukan. Dalam ayat Al qur'an disebutkan bahwa kita diperintahkan menggauli istri kita dengan cara yang ma'ruf (baik). Karena kegiatan tersebut merupakan proses yang menentukan baik-buruknya anak yang efeknya bukan hanya kepada orang tuanya melainkan juga masyarakat luas. Sayangnya kegiatan tersebut dewasa ini semakin jauh dari semangat ibadah dan lebih terkesan kegiatan "senang-senang" ,tak ayal jika sekarang marak terbitnya kaset-kaset yang menggurui kegiatan tersebut, atau konsultasi yang mengarah kepada kepuasan bukan mengarah bagaimana mengajarkan cara-cara yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar