Dillon: Petani Indonesia Belum Naik KelasDillon: Petani Indonesia Belum Naik Kelas
Pakar sosial-ekonomi pertanian H.S. Dillon menilai, sektor pertanian di Indonesia, khususnya para petani sendiri belum naik kelas, sementara itu total anggaran beberapa tahun pada sektor ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Petani kita belum `naik kelas` atau tetap miskin karena belum mampu menjadikan pertanian sebagai bidang usaha yang memberi nilai tambah lebih tinggi, katanya usai menghadiri Diskusi Kemiskinan di Indonesia : Struktur atau Karakter Sosial, Kebijakan Pertanian, Investasi dan Pengeluaran Publik untuk Pengentasan Kemiskinan Jangka Panjang, Jakarta, Rabu. Menurut Dillon, hal itu terjadi karena sebagian besar para pemikir dan pejabat pengambil keputusan di Indonesia, hanya melihat negara-negara yang sudah maju saat sekarang, tanpa melihat lintasan yang dilalui oleh mereka. Padahal, tegasnya, negara-negara maju itu umumnya juga berasal dari negara agraris, kecuali negara-negara kota. Hanya saja, mereka mampu menjadikan kehidupan para petaninya bertransformasi lebih baik sehingga menjadikan sektor pertanian mempunyai nilai tambah dan menjadi bidang usaha lebih tinggi. Dillon mencatat, salah satu negara agraris yang mampu memberi tambah dan menjadi negara maju dan paling bagus melakukan proses transformasi itu adalah Taiwan. China belajar sedikit dari Taiwan, juga Malaysia, katanya. Ditanya bagaimana posisi sektor pertanian di Indonesia agar berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan, Dillon menegaskan, saat ini pertama, pemerintah sedang melakukan upaya yang memanfaatkan kapitalisme pertanian tetapi prakteknya tidak berpihak kepada sektor ini dan kedua, para petani itu sendiri. Nah, pada praktek pertama itu tadi, menjadikan perbankan nasional tidak berpihak kepada sektor pertanian, padahal, modalnya juga disumbangkan oleh sektor ini. Mereka lebih berpihak kepada pengusaha (bukan petani,red). Jadi, pemerintah tidak berpihak kepada petani, tetapi kepada pemilik modal, katanya. Padahal, semangat pembangunan yang seharusnya, tegasnya, adalah segala kebijakan investasi, mestinya bisa berdampak kepada masyarakat paling bawah bukan sebaliknya. Itulah pembangunan, katanya. Dillon juga menyimpulkan, kondisi dan konsep pembangunan pemerintah saat ini, tidak jelas keberpihakannya sehingga penderitaan dan kemiskinan makin bertambah dari tahun ke tahun. Mengapa rakyat kita mau bekerja di luar negeri, karena di negerinya sendiri mereka diguyur derita, katanya. Jika Anda tidak memiliki rincian yang akurat mengenai lowongan kerja informasi kerja terbaru 2010, maka Anda mungkin bisa membuat pilihan yang buruk pada subjek. Jangan biarkan hal itu terjadi: terus membaca.Oleh karena itu, tegasnya, sebelum terlambat, pemerintah dan pihak terkait harus sadar diri dan memposisikan kembali aneka kebijakannya untuk berpihak kepada golongan bawah. Hal itu bisa dilakukan antara lain dengan menata sektor pertanian, kedua, manufaktur dan ketika adalah sektor jasa yang bernilai tambah tinggi. Begitulah lintasan bangsa-bangsa maju di dunia, katanya. Kondisi yang ada sekarang ini, tegasnya, instrumen yang dimiliki pemerintah, tidak digunakan untuk berpihak kepada golongan miskin, tetapi mereka yang sudah menjadi pengusaha. Coba cek berapa komposisi kredit perbankan nasional kepada para pengusaha itu? Saya pernah datang ke BRI, mereka lebih besar kucurkan kredit ke Bosowa, Bakrie Land dan sebagainya, katanya. Tren meningkat Sementara itu, data yang dipaparkan Ketua Badan Anggaran DPR-RI Haryy Azhar Aziz menyebutkan, total anggaran sektor pertanian dalam beberapa tahun terakhir cenderung meningkat, termasuk subsidi untuk pertanian yang didalamnya mencapai 75 persen dari total anggaran sektor pertanian. Pada 2009 total subsidi pertanian Rp33,5 triliun. Subsidi pupuk juga meningkat drastis pada 2007-2009 dari Rp6,3 triliun menjadi Rp17,53 triliun, katanya. Namun, fakta di lapangan menunjukkan, kegiatan dan hasil di sektor pertanian, selama ini tidak didukung sistem distribusi yang baik sehingga seringkali, subsidi itu dinikmati petani pemodal besar. Subsidi juga menyebabkan distorsi harga, terutama pupuk yang sering disalahgunakan ke sektor tidak bersubsidi, seperti perkebunan. Lebih parah lagi, banyak pupuk diselundupkan karena disparitas harga yang tinggi. Saat ini dengan besarnya penduduk masih miskin dan menganggur dan tinggal di wilayah pedesaan, mestinya menjadikan sektor pertanian sebagai kunci pembangunan. Ini harus jadi prioritas, katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar